
Seri Catatan Muslimah di Swedia #01
Kini, saya rindu suara azan.
Memang benar orang bijak berkata, sesuatu itu baru sangat berarti atau bernilai jika sudah jauh atau terlepas dari genggaman, penglihatan atau pendengaran.
Kini, saya rindu suara azan. Bisa dikatakan, saya sering menganggap angin lalu alunan merdu panggilan shalat 5 waktu yang dilantunkan oleh muazin selama ini. Saat pagi, saya lebih senang menarik selimut untuk meneruskan tidur dan menunda shalat subuh. Siang atau sore hari, kesibukan kerja sering menjadi alasan untuk mengabaikan suara azan. Petang hari, saatnya azan magrib, saya lebih senang mengganti saluran televisi yang menayangkan azan. Malam hari, saatnya isya, saya pun kembali mengabaikan suara merdu yang mengajak bertemu dengan Sang Khalik.
Saya tiba-tiba rajin mendengar-menyimak azan hanya pada bulan Ramadhan. Itupun hanya azan Subuh yang menandakan saatnya memulai puasa setelah masanya imsyak. Atau, azan Magrib saatnya saya membatalkan puasa. Sungguh, hanya pada bulan Ramadhan, azan itu sangat berarti buat saya.
Namun, setelah sulit kudengar lagi, khususnya setelah saya menetap di Swedia, saya baru menyadarinya, betapa saya merindukan suara azan tersebut. Hanya orang tertentu yang mampu mengalunkan azan dengan baik dan benar sehingga merdu terdengar.

Selama 11 tahun saya menetap di Swedia, sebuah negara yang terletak di Utara Eropa, sungguh sulit mendengarkan suara azan yang dilantunkan langsung dari masjid seperti di Tanah Air. Suara azan itu akhirnya dapat saya dengar saat menyaksikan program televisi Indonesia via aplikasi televisi internet. Contohnya, ketika saya menyaksikan sebuah acara TV bertepatan dengan waktu Magrib Jakarta dimana waktu Stockholm masih siang hari sekitar jam 12.00 atau 13.00. Dengan demikian, alunan azan itu menjadi pertanda shalat dzuhur di Stockholm. Hal itu dapat saya nikmati ketika berada di rumah. Bagaimana jika saya sedang di tempat kerja atau di luar rumah?
Memang, kecanggihan teknologi tetap dapat membuat kita ‘menikmati suara azan’ melalui berbagai aplikasi penanda waktu shalat yang terinstal di telepon selular. Namun, sungguh berbeda rasanya dibandingkan mendengarkannya secara langsung. Tumbuh rasa tenang di dalam hati ketika saya menyimaknya lamat-lamat suara azan tersebut.
Oleh karena itu, saking rindunya saya dengan suara azan, khususnya pada Ramadhan 2011 –hanya beberapa bulan setelah saya mendarat di Swedia–, saya sengaja terbang ke Istanbul-Turki. Seminggu lamanya saya menikmati suasana Ramadhan di sana. Hati saya tersentuh dan terharu ketika dapat menyimak lamat-lamat kembali suara azan itu. Ternyata, begitu indahnya ketika mendengarkannya dengan hati, bukan hanya telinga.
Itulah, sesuatu menjadi sangat bernilai tinggi jika sudah terlepas dari genggaman.
Suara azan itu ternyata mampu menenangkan hati dan pikiran sejenak. Panggilan untuk melakukan ‘percakapan’ dengan Tuhan sambil melakukan gerak tubuh yang disebut dengan shalat.
Jika saya mampu meluangkan waktu berjam-jam untuk mendengarkan suara musik indah ciptaan manusia, mengapa saya tidak mampu dan mau meluangkan waktu sejenak—kurang dari 10 menit—untuk mendengarkan alunan suara untuk bertemu dengan MU yang dilanjutkan dengan doa.
Azan adalah sesuatu banget buat saya